KEBUDAYAAN DALAM NEGERI : KEBUDAYAAN ACEH
KEBUDAYAAN ACEH DAN SEJARAHNYA
Aceh adalah nama sebuah Bangsa yang mendiami ujung paling utara pulau sumatera yang terletak di antara samudera hindia dan selat malaka. Aceh merupakan sebuah nama dengan berbagai legenda dan mitos , sebuah bangsa yang sudah dikenal dunia internasional sejak berdirinya kerajaan poli di Aceh Pidie dan mencapai puncak kejayaan dan masa keemasan pada zaman Kerajaan Aceh Darussalam di masa pemerintahan Sulthan Iskandar Muda hingga berakhirnya kesulthanan Aceh pada tahun 1903 di masa Sulthan Muhammad Daud Syah. Dan walau dalam masa 42 tahun sejak 1903 s/d 1945 Aceh tanpa pemimpin, Aceh tetap berdiri dan terus berjuang mempertahankan kemerdekaannya dari tangan Belanda dan Jepang yang dipimpin oleh para bangsawan, hulubalang dan para pahlawan Aceh seperti Tgk Umar, Cut Nyak Dhien dan lain-lain dan juga Aceh mempunyai andil yang sangat besar dalam mempertahankan Nusantara ini dengan pengorbanan rakyat dan harta benda yang sudah tak terhitung nilainya hingga Aceh bergabung dengan Indonesia karena kedunguan dan kegoblokan Daud Beureueh yang termakan oleh janji manis dan air mata buaya Soekarno.
Banyak sekali tentang mitos tentang nama Aceh, Berikut beberapa mitos tentang nama Aceh :
1. Menurut H. Muhammad Said (1972), sejak abad pertama Masehi, Aceh sudah menjadi jalur perdagangan internasional. Pelabuhan Aceh menjadi salah satu tempat singgah para pelintas. Malah ada di antara mereka yang kemudian menetap. Interaksi berbagai suku bangsa kemudian membuat wajah Aceh semakin majemuk. Sepeti dikutip oleh H.M. Said (Pengarang Buku Aceh Sepanjang Abad) catatan Thomas Braddel yang menyebutkan, di zaman Yunani, orang-orang Eropa mendapat rempah-rempah Timur dari saudagar Iskandariah, Bandar Mesir terbesar di pantai Laut Tengah kala itu. Tetapi, rempah-rempah tersebut bukanlah asli Iskandariah, melainkan mereka peroleh dari orang Arab Saba.Orang-orang Arab Saba mengangkut rempah-rempah tersebut dari Barygaza atau dari pantai Malabar India dan dari pelabuhan-pelabuhan lainnya. Sebelum diangkut ke negeri mereka, rempah-rempah tersebut dikumpulkan di Pelabuhan Aceh.
2. Raden Hoesein Djajadiningrat dalam bukunya Kesultanan Aceh (Terjemahan Teuku Hamid, 1982/1983) menyebutkan bahwa berita-berita tentang Aceh sebelum abad ke-16 Masehi dan mengenai asal-usul pembentukan Kerajaan Aceh sangat bersimpang-siur dan terpencar-pencar.
3. HM. Zainuddin (1961) dalam bukunya Tarich Aceh dan Nusantara, menyebutkan bahwa bangsa Aceh termasuk dalam rumpun bangsa Melayu, yaitu; Mantee (Bante), Lanun, Sakai Jakun, Semang (orang laut), Senui dan lain sebagainya, yang berasal dari negeri Perak dan Pahang di tanah Semenanjung Melayu.Semua bangsa tersebut erat hubungannya dengan bangsa Phonesia dari Babylonia dan bangsa Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga, India. Bangsa Mante di Aceh awalnya mendiami Aceh Besar, khususnya di Kampung Seumileuk, yang juga disebut Gampong Rumoh Dua Blah. Letak kampung tersebut di atas Seulimum, antara Jantho danTangse. Seumileuk artinya dataran yang luas. Bangsa Mante inilah yang terus berkembang menjadi penduduk Aceh Lhee Sagoe (di Aceh Besar) yang kemudian ikut berpindah ke tempat-tempat lainnya. Sesudah tahun 400 Masehi, orang mulai menyebut ”Aceh” dengan sebutan Rami atau Ramni. Orang-orang dari Tiongkok menyebutnya lan li, lanwu li, nam wu li, dan nan poli yang nama sebenarnya menurut bahasa Aceh adalah Lam Muri. Sementara orang Melayu menyebutnya Lam Bri (Lamiri). Dalam catatan Gerini, nama Lambri adalah pengganti dari Rambri (Negeri Rama) yang terletak di Arakan (antara India Belakang dan Birma), yang merupakan perubahan dari sebutan Rama Bar atau Rama Bari.
4. Rouffaer, salah seorang penulis sejarah, menyatakan kata al Ramni atau al Rami diduga merupakan lafal yang salah dari kata-kata Ramana. Setelah kedatangan orang portugis mereka lebih suka menyebut orang Aceh dengan Acehm.
5. Sementara orang Arab menyebutnya Asji. Penulis-penulis Perancis menyebut nama Aceh dengan Acehm, Acin, Acheh ; orang-orang Inggris menyebutnya Atcheen, Acheen, Achin. Orang-orang Belanda menyebutnya Achem, Achim, Atchin, Atchein, Atjin, Atsjiem, Atsjeh, dan Atjeh. Orang Aceh sendiri, kala itu menyebutnya Atjeh.
7 KOMPONEN BUDAYA :
1. Macam-Macam Bahasa Aceh
• Bahasa Aceh Diantara bahasa-bahasa daerah yang terdapat di provinsi NAD, bahasa Aceh merupakan bahasa daerah terbesar dan yang paling banyak penuturnya, yakni sekitar 70 % dari total penduduk provinsi NAD. Penutur bahasa Aceh tersebar di wilayah pantai Timur dan Barat provinsi NAD. Penutur asli bahasa Aceh adalah mereka yang mendiami kabupaten Aceh Besar, kota Banda Aceh, kabupaten Pidie, kabupaten Aceh Jeumpa, kabupaten Aceh Utara, kabupaten Aceh Timur, kabupaten Aceh Barat dan kota Sabang. Penutur bahasa Aceh juga terdapat di beberapa wilayah dalam kabupaten Aceh Selatan, terutama di wilayah Kuala Batee, Blang Pidie, Manggeng, Sawang, Tangan-tangan, Meukek, Trumon dan Bakongan. Bahkan di kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Simeulue, kita dapati juga sebahagian kecil masyarakatnya yang berbahasa Aceh. Selain itu, di luar provinsi NAD, yaitu di daerah-daerah perantauan, masih ada juga kelompok-kelompok masyarakat Aceh yang tetap mempertahankan bahasa Aceh sebagai bahasa ibu mereka. Hal ini dapat kita jumpai pada komunitas masyarakat Aceh di Medan, Jakarta, Kedah dan Kuala Lumpur di Malaysia serta Sydney di Australia.
• Bahasa Gayo Bahasa ini diyakini sebagai suatu bahasa yang erat kaitannya dengan bahasa Melayu kuno, meskipun kini cukup banyak kosakata bahasa Gayo yang telah bercampur dengan bahasa Aceh. Bahasa Gayo merupakan bahasa ibu bagi masyarakat Aceh yang mendiami kabupaten Aceh Tengah, sebagian kecil wilayah Aceh Tenggara, dan wilayah Lokop di kabupaten Aceh Timur. Bagi kebanyakan orang di luar masyarakat Gayo, bahasa ini mengingatkan mereka akan alunan-alunan merdu dari syair-syair kesenian didong.
• Bahasa Alas Bahasa ini kedengarannya lebih mirip dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat etnis Karo di Sumatera Utara. Masyarakat yang mendiami kabupaten Aceh Tenggara, di sepanjang wilayah kaki gunung Leuser, dan penduduk di sekitar hulu sungai Singkil di kabupaten Singkil, merupakan masyarakat penutur asli dari bahasa Alas. Penduduk kabupaten Aceh Tenggara yang menggunakan bahasa ini adalah mereka yang berdomisili di lima kecamatan, yaitu kecamatan Lawe Sigala-Gala, Lawe Alas, Bambel, Babussalam, dan Bandar.
• Bahasa Tamiang Bahasa Tamiang (dalam bahasa Aceh disebut bahasa Teumieng) merupakan variant atau dialek bahasa Melayu yang digunakan oleh masyarakat kabupaten Aceh Tamiang (dulu wilayah kabupaten Aceh Timur), kecuali di kecamatan Manyak Payed (yang merupakan wilayah bahasa Aceh) dan kota Kuala Simpang (wilayah bahasa campuran, yakni bahasa Indonesia, bahasa Aceh dan bahasa Tamiang). Hingga kini cita rasa Melayu masih terasa sangat kental dalam bahasa Tamiang.
• Bahasa Aneuk Jamee Bahasa ini sering juga disebut (terutama oleh penutur bahasa Aceh) dengan bahasa Jamee atau bahasa Baiko. Di Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi penduduk yang mendiami wilayah-wilayah kantung suku Aneuk Jamee. Di Kabupaten Aceh Barat Daya bahasa ini terutama dituturkan di Susoh, sebagian Blang Pidie dan Manggeng. Kabupaten Aceh Selatan merupakan daerah yang paling banyak dituturkan sebagai lingua franca, antara lain Labuhan Haji, Samadua, Tapaktuan, dan Kluet Selatan. Di luar wilayah Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya, bahasa ini juga digunakan oleh kelompok-kelompok kecil masyarakat di kabupaten Singkil dan Aceh Barat, khususnya di kecamatan Meureubo (Desa Peunaga Rayek, Ranto Panyang, Meureubo, Pasi Meugat, dan Gunong Kleng), serta di kecamatan Johan Pahlawan (khususnya di desa Padang Seurahet). Bahasa Aneuk Jamee adalah bahasa yang lahir dari asimilasi bahasa sekelompok masyarakat Minang yang datang ke wilayah pantai barat-selatan Aceh dengan bahasa daerah masyarakat tempatan, yakni bahasa Aceh. Sebutan Aneuk Jamee (yang secara harfiah bermakna ‘anak tamu’, atau ‘bangsa pendatang’) yang dinisbahkan pada suku/bahasa ini adalah refleksi dari sikap keterbukaan dan budaya memuliakan tamu masyarakat aceh setempat. Bahasa ini dapat disebut sebagai variant dari bahasa Minang.
• Bahasa Kluet Bahasa Kluet merupakan bahasa ibu bagi masyarakat yang mendiami daerah kecamatan Kluet Utara dan Kluet Selatan di kabupaten Aceh Selatan. Informasi tentang bahasa Kluet, terutama kajian-kajian yang bersifat akademik, masih sangat terbatas. Masyarakat Aceh secara luas, terkecuali penutur bahasa Kluet sendiri, tidak banyak mengetahui tentang seluk-beluk bahasa ini. Barangkali masyarakat penutur bahasa Kluet dapat mengambil semangat dari PKA-4 ini untuk mulai menuliskan sesuatu dalam bahasa daerah Kluet, sehingga suatu saat nanti masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan buku-buku dalam bahasa Kluet baik dalam bentuk buku pelajaran bahasa, cerita-cerita pendek, dan bahkan puisi.
• Bahasa Singkil Seperti halnya bahasa Kluet, informasi tentang bahasa Singkil, terutama sekali dalam bentuk penerbitan, masih sangat terbatas. Bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi sebagian masyarakat di kabupaten Singkil. Dikatakan sebahagian karena kita dapati ada sebagian lain masyarakat di kabupaten Singkil yang menggunakan bahasa Aceh, bahasa Aneuk Jamee, ada yang menggunakan bahasa Minang, dan ada juga yang menggunakan bahasa Dairi (atau disebut juga bahasa Pakpak) khususnya di kalangan pedagang dan pelaku bisnis di wilayah Subulussalam. Selain itu masyarakat Singkil yang mendiami Kepulauan Banyak, mereka menggunakan bahasa Haloban. Jadi sekurang-kurangnya ada enam bahasa daerah yang digunakan sebagai bahasa komunisasi sehari-hari diantara sesama anggota masyarakat Singkil selain bahasa Indonesia. Dari sudut pandang ilmu linguistik, masyarakat Singkil adalah satu-satunya kelompok masyarakat di provinsi NAD yang paling pluralistik dalam hal penggunaan bahasa.
• Bahasa Haloban Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahasa Haloban adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang digunakan oleh masyarakat di kabupaten Singkil, khususnya mereka yang mendiami Kepulauan Banyak, terutama sekali di Pulau Tuanku. Bahasa ini kedengarannya sangat mirip dengan bahasa Devayan yang digunakan oleh masyarakat di pulau Simeulue. Jumlah penutur bahasa Haloban sangat sedikit dan jika uapaya-upaya untuk kemajuan, pengembangan serta pelestarian tidak segera dimulai, dikhawatirkan suatu saat nanti bahasa ini hanya tinggal dalam catatan-catatan kenangan para peneliti bahasa daerah.
• Bahasa Simeulue Bahasa Simeulue adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang merupakan bahasa ibu bagi masyarakat di pulau Simeulue dengan jumlah penuturnya sekitar 60.000 orang. Dalam penelitian Morfologi Nomina Bahasa Simeulue, menemukan bahwa kesamaan nama pulau dan bahasa ini telah menimbulkan salah pengertian bagi kebanyakan masyarakat Aceh di luar pulau Simeulue: mereka menganggap bahwa di pulau Simeulue hanya terdapat satu bahasa daerah, yakni bahasa Simeulue. Padahal di kabupaten Simeulue kita jumpai tiga bahasa daerah, yaitu bahasa Simeulue, bahasa Sigulai (atau disebut juga bahasa Lamamek), dan bahasa Devayan. Ada perbedaan pendapat di kalangan para peneliti bahasa tentang jumlah bahasa di pulau Simeulue. misalnya, mengatakan bahwa di pulau Simeulue hanya ada satu bahasa, yaitu bahasa Simeulue. Akan tetapi bahasa ini memiliki dua dialek, yaitu dialek Devayan yang digunakan di wilayah kecamatan Simeulue Timur, Simeulue Tengah dan di kecamatan Tepah Selatan, serta dialek Sigulai yang digunakan oleh masyarakat di wilayah kecataman Simeulue Barat dan kecamatan Salang.
2. KARYA / SENI
Salah satu tradisi turun temurun yang dilakukan oleh Rakyat Aceh adalah melakukan aktifitas lewat kesenian. Seni yang dimaksud disini adalah kemampuan seorang atau sekelompok orang untuk memnampilkan suatu hasil karya dihadapan orang lain. Dalam konteks masyarakat Aceh dahulu, seseorang yang mempunyai nilai seni, maka ia akan menjadi sosok yang akan menjadi perhatian. Dalam literature keacehan, dikenal beberapa jenis kesenian Aceh diantaranya Zikee, seudati, rukoen, rapai geleng, rapai daboeh, biola (mop-mop), saman, laweut dan sebagainya. Sepintas lalu, kegiatan seni yang dilakukan tersebut bertujuan untuk menghibur diri atau kelompok tertentu. Hal ini dilakukan seperti dalam kegiatan resmi di istana raja, atau dalam dalam perayaan acara tertentu. Mengutip pendapat "Ismuha dalam buku Bunga Rampai Budaya Nusantara", maka Kesenian Aceh secara umum terbagi dalam seni tari, seni sastra dan cerita rakyat. Adapun ciri-ciri tari tradisional Aceh antara lain; bernafaskan islam, ditarikan oleh banyak orang, pengulangan gerak serupa yang relatif banyak, memakan waktu penyajian yang relatif panjang, kombinasi dari tari musik dan sastra, pola lantai yang terbatas, pada masa awal pertumbuhannya disajikan dalam kegiatan khusus berupa upacara-upacara dan gerak tubuh terbatas (dapat diberi variasi). Kesenian Aceh dibalut dengan nilai-nilai agama, sosial dan politik. Kenyataan ini dapat dilihat dalam seni tari, seni sastra, seni teater dan seni suara. Selain itu seni tari atau seni tradisional Aceh dipengarungi oleh Sosial budaya Aceh itu sendiri. Seni Aceh dipengaruhi oleh latar belakng adat agama, dan latar belakang cerita rakyat (mitos legenda). Seni tari yang berlatarbelakang adat dan agama seperti tari saman, meuseukat, rapai uroh maupun rapai geleng, Rampou Aceh dan seudati. Sementara seni yang berlatar belakang cerita rakyat (mitos legenda) seperti tari phom bines dan ale tunjang.
Contoh kesenian :
1. Seni Lukis : Kaligrafi Arab
Seni kaligrafi Arab merupikan salah satu kesenian yang ada dalam suku aceh. Melukis kaligrafi ini biasanya dilukis di atas kanvas yang bertujuan sebagai hiasan dinding di dalam rumah atau mesjid dengan melukiskan Asmaul Husna dan sebagainya. Kesenian ini banyak terlihat pada berbagai ukiran mesjid, rumah adat, alat upacara, perhiasan, dan sebagainya.
2. Seni Pahat : Memahat Rumah Adat dan Nisan
3. Seni Musik : Rapai Geleng
Rapai geleng merupakan seni musik yang dilakukan oleh tiga belas laki-laki/perempuan yang duduk berbanjar, seperti duduk diantara dua sujud ketika melaksanakan shalat. Masing-masing memegang alat tabuh sambil bernyanyi bersama. Antara musik dan gerak yang dimainkan bersenyawa. Awalnya lambat, sedang, setelah beberapa detik berubah cepat diiringi dengan gerakan kepala yang digelengkan ke kiri dan kekanan. Mereka menepuk-nepuk tangan dan dada, juga menepuk tangan dan paha. Ada yang bertindak sebagai pemain biasa, syech dan aneuk dhiek.
4. Seni Tari : Tari Saman Tarian ini merupakan salah satu media untuk pencapaian dakwah. Tarian ini mencerminkan pendidikan, keagamaan, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan dan kebersamaan. dilakukan dalam posisi duduk berbanjar dengan irama dan gerak yang dinamis. Suatu tari dengan syair penuh ajaran kebajikan, terutama ajaran agama Islam.
3. TEKNOLOGI
Barang – Benda (Material Culture)
Alat-alat musik
a. Serune Kalee / Seruling Aceh
Serune Kalee merupakan instrumen tradisional Aceh yang telah lama berkembang dan dihayati oleh masyarakat Aceh. Biasanya alat musik ini dimainkan bersamaan dengan Rapai dan Gendrang pada acara-acara hiburan, tarian, penyambutan tamu kehormatan. Bahan dasar Serune Kalee ini berupa kayu, kuningan dan tembaga. Bentuk menyerupai seruling bambu. Warna dasarnya hitam yang fungsi sebagai pemanis atau penghias musik tradisional Aceh. Serune Kalee bersama-sama dengangeundrang dan Rapai merupakan suatu perangkatan musik yang dari semenjak jayanya kerajaan Aceh Darussalam sampai sekarang tetap menghiasi/mewarnai kebudayaan tradisional Aceh disektor musik.
b. Rapai / rebana Rapai terbuat dari bahan dasar berupa kayu dan kulit binatang. Bentuknya seperti rebana dengan warna dasar hitam dan kuning muda. Sejenis instrumen musik pukul (percussi) yang berfungsi pengiring kesenian tradisional.
c. Geundrang / gendang Geundrang merupakan unit instrumen dari perangkatan musik Serune Kalee. Geundrang termasuk jenis alat musik pukul dan memainkannya dengan memukul dengan tangan atau memakai kayu pemukul. Fungsi Geundrang nerupakan alat pelengkap tempo dari musik tradisional etnik Aceh.
d. Tambo / tambur Sejenis gendang yang termasuk alat pukul. Tambo ini dibuat dari bahan Bak Iboh, kulit sapi dan rotan sebagai alat peregang kulit. Tambo ini dimasa lalu berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menentukan waktu shalat/sembahyang dan untuk mengumpulkan masyarakat ke Meunasah guna membicarakan masalah-masalah kampung. Sekarang jarang digunakan (hampir punah) karena fungsinya telah terdesak olah alat teknologi microphone.
e. Taktok Trieng
Taktok Trieng juga sejenis alat pukul yang terbuat dari bambu. Alat ini
berfungsi untuk mengusir burung ataupun serangga lain yang mengancam tanaman
padi. Jenis ini biasanya diletakkan ditengah sawah dan dihubungkan dengan tali
sampai ke dangau (gubuk tempat menunggu padi di sawah).
f. Bereguh Bereguh nama sejenis alat tiup terbuat dari tanduk kerbau. Bereguh mempunyai nada yang terbatas, banyaknya nada yang dapat dihasilkan Bereguh tergantung dari teknik meniupnya. Fungsi dari Bereguh hanya sebagai alat komunikasi terutama apabila berada dihutan/berjauhan9 tempat antara seorang dengan orang lainnya. Sekarang ini Bereguh telah jarang dipergunakan orang, diperkirakan telah mulai punah penggunaannya.
Rumah Adat : Rumoh Aceh
Rumah adat Aceh terbuat dari kayu meranti dan berbentuk panggung mempunyai 3 serambi yaitu Seuranmoe Keu, Rumah Inong dan Seuramoe Likot. Seni / Ragam Hias : Pilin Berganda Seni hias Aceh umumnya mamakai bentuk-bentuk ilmu ukur, tumbuh- tumbuhan atau ruang angkasa (kosmos). Ragam Pilin berganda terdiri dari susunan huruf S berdasarkan ilmu ukur. Seni ukir dan seni tenun Aceh menggunakan bentuk tumbuhan.
Pakaian Adat Pakaian adat yang dikenakan pria Aceh adalah baju jas dengan leher tertutup, celana panjang yang disebut cekak musang dan kain sarung yang disebutpendua. Kopiah yang dipakainya disebut makutup dan sebilah rencong terselip di depan perut. Wanitanya memakai baju sampai ke pinggul, celana panjang cekak musang serta kain sarung sampai ke lutut. Perhiasan yang dipakai berupa kalung yang disebutkula,pending, gelang tangan dan gelang kaki. Pakaian ini dipergunakan untuk keperluan upacara pernikahan.
Senjata
Rencong adalah senjata tradisional yang dipakai oleh hampir setiap penduduk Aceh. Wilahan rencong terbuat dari besi dan biasanya bertuliskan ayat-ayat Al-Qur'an. Selain rencong, suku Aceh juga menggunakan, reuduh, keumeurah paneuk, peudang, dantameung. Senjata-senjata tersebut umumnya dibuat sendiri.
4. MATA PENCAHARIAN
Setiap orang untuk yang hidup memerlukan makanan untuk menyambung hidupnya. Dalam suku aceh, untuk mendapatkan makanan sebagian besar dari mereka bekerja sebagai petani dan beternak. Namun, masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai pada umumnya menjadi nelayan, dan tidak sedikit juga yang berdagang. Mata pencaharian pokok suku aceh adalah bertani di sawah dan ladang dengan tanaman pokok berupa padi, cengkeh, lada, pala, kelapa dan lain-lain. Disamping bertani, masyarakat suku aceh juga ada yang beternak kuda, kerbau, sapi dan kambing yang kemudian untuk dipekerjakan di sawah atau di jual. Untuk masyarakat yang hidup di sepanjang pantai, umumnya mereka menjadi nelayan dengan mencari ikan yang kemudian untuk menu utama makanan sehari-hari atau dijual ke pasar. Bagi masyarakat yang berdagang, mereka melakukan kegiatan berdagang secara tetap (baniago), salah satunya dengan menjajakan barang dagangannya dari kampung ke kampung.
5. SISTEM AGAMA
Suku Aceh adalah pemeluk agama islam dan mereka tidak mengenal dewa- dewa. Kepercayaan agama lainnya hanya berkembang di kalangan para pedagang. Aceh termasuk salah satu daerah yang paling awal menerima agama Islam. Oleh 10 sebab itu propinsi ini dikenal dengan sebutan "Serambi Mekah", maksudnya "pintu gerbang" yang paling dekat antara Indonesia dengan tempat dari mana agama tersebut berasal. Meskipun demikian kebudayaan asli suku Aceh tidak hilang begitu saja, sebaliknya beberapa unsur kebudayaan setempat mendapat pengaruh dan berbaur dengan kebudayaan Islam. Dengan demikian kebudayaan hasil akulturasi tersebut melahirkan corak kebudayaan Islam-Aceh yang khas. Simbol yang digunakan pada suku aceh adalah rencong, karena gagangnya yang melelekuk kemudian menebal pada bagian sikunya merupakan huruf hijaiyah ”BA”, gagang tempat genggaman berbentuk huruf hijaiyah ”SIN”, bentuk lancip yang menurun kebawah pada pangkal besi dekat gagangnya merupakan huruf hijaiyah ”MIM”, lajur besi dari pangkal gagang hingga dekat ujungnya merupakan huruf hijaiyah ”LAM”, dan ujung yang runcing sebelah atas mendatar dan bagian bawah yang sedikit melekuk ke atas merupakan huruf hijaiyah ”HA”. Dengan demikian rangkaian dari huruf tersebut mewujudkan kalimat ”BISMILLAH”. Ini berkaitan dengan jiwa kepahlawanan dalam bentuk senjata perang untuk mempertahankan agama Islam dari penjajahan orang yang anti Islam. Mitos yang terdapat di dalam suku aceh adalah memelihara burung hantu. Karena orang-orang suku aceh meyakini bahwa jika salah satu diantara mereka memelihara burung hantu, berarti orang tersebut sedang menyekutukan Allah SWT. Sebab, suara kukukan burung hantu adalah pertanda untuk memanggil makhluk- makhluk gaib. Di dalam suku aceh terdapat beberapa ritual agama, yaitu intat bu pada saat ibu sedang hamil, peutron aneuk pada saat bayi sudah lahir, danpeus ijuek. Intat bu adalah ritual yang dilakukan untuk wanita hamil dengan memasak makanan yang disukai oleh wanita tersebut. Peutron Aneuk adalah ritual untuk bayi yang baru lahir dengan memberikan cermin kepada bayinya agar anaknya menjadi ganteng atau cantik, memberikan madu dibibir agar anaknya terlihat manis oleh semua orang. Peusijuk adalah ritual untuk anak yang baru disunat dengan memercikan air dari danau laut tawar dengan campuran bunga 7 rupa menggunakan 7 helai daun pandan, kemudian disebarkan beras yang sudah ditumbuk menjadi tepung ke anak yang baru disunat. Ritual ini bertujuan agar Allah SWT memberikan keberkatan dan rezeki kepada anak tersebut. Masyarakat suku aceh sangat mempercayai dan meyakini akan ajaran agama Islam. Mereka memegang teguh keyakinan tersebut. Di samping itu, mereka sangat menghormati dan menghargai para Ulama sebagai pewaris para Nabi. Sehingga ketundukan ulama melebihi ketundukan pada para raja.
6. ORGANISASI SOSIAL
Status Pada masa lalu masyarakat suku Aceh mengenal beberapa lapisan sosial. Di antaranya ada empat golongan masyarakat, yaitu : • golongan keluarga sultan : keturunan bekas sultan-sultan yang pernah berkuasa. Panggilan yang lazim untuk keturunan sultan ini adalah ampon, dan cut. • golongan ulee balang : keturunan dari golongan keluarga sultan. Biasanya mereka bergelar Teuku. • golongan ulama : keturunan pemuka agama. Biasanya mereka bergelar Teungku atau Tengku. • golongan rakyat biasa : keturunan suku aceh biasa. Sistem organisasi sosial suku Aceh tidak begitu terlihat lagi bila di bandingkan dengan zaman kemerdekaan. Pelapisan sosial yang terdapat di Aceh pada zaman sebelum merdeka lebih di dasarkan oleh faktor keturunan. Setelah kemerdekaan dasar - dasar pelapisan sosial mulai bergeser dan berubah polanya. Secara umum pelapisan sosial suku Aceh sekarang sebagai berikut: • Golongan penguasa : terdiri penguasa pemerintah dan penguasa pegawai negri. • Golongan hartawan : terdiri dari pedagang besar, pemilik perkebunan, dan pemilik ternak. • Golongan rakyat : terdiri dari petani miskin, nelayan, buruh, dan pegawai rendahan.
Sistem Keluarga Dalam sistem keluarga, bentuk kekerabatan yang terpenting adalah keluarga inti dengan prinsip keturunan bilateral. Adat menetap sesudah menikah bersifat matrilokal. Sedangkan anak merupakan tanggung jawab ayah sepenuhnya.
Pernikahan Dalam sistem pernikahan tampaknya terdapat kombinasi antara budaya Minangkabau dan Aceh. Garis keturunan diperhitungkan berdasarkan prinsip bilateral, sedangkan adat menetap sesudah nikah adalah uxorilikal. Kerabat pihak ayah mempunyai kedudukan yang kuat dalam hal pewarisan dan perwalian, sedangkan ninik mamak berasal dari kerabat pihak ibu. Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga inti yang disebut rumoh tanggo. Ayah berperan sebagai kepala keluarga yang mempunyai kewajiban memenuhi kebutuhan keluarganya.Tanggung jawab seorang ibu yang utama adalah mengasuh anak dan mengatur rumah tangga.
Sistem politik dan pemerintahan Bentuk kesatuan hidup setempat yang terkecil disebut gam pong yang dikepalai oleh seorang geucik atau kecik. Dalam setiap gampong ada sebuah meunasah yang dipimpin seorang imeum meunasah. Kumpulan dari beberapa gampong disebut mukim yang dipimpin oleh seorang imam mukim. Kehidupan sosial dan keagamaan di setiapgam pong dipimpin oleh pemuka- pemuka adat dan agama, mengurusi masalah - masalah keagamaan, seperti hukum atau syariat Islam dikenal sebagai pemimpin keagamaan atau masuk kelompok elite religius. Oleh karena itu, para ulama ini mengurusi hal-hal yang menyangkut keagamaan, maka mereka haruslah Ureung Nyang Malem. Dengan demikian tentunya sesuai dengan predikat / sebutan ulama itu sendiri, yang berarti para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan. Adapun golongan atau kelompok ulama ini dapat disebutkan, yaitu Imam Mukim, Qadli, Teungku / teuku.
7. SISTEM PENGETAHUAN
Suku Aceh memiliki sistem pengetahuan yang mencangkup tentang fauna, flora, bagian tubuh manusia, gejala alam, dan waktu. Mereka mengetahui dan memiliki pengetahuan itu dari dukun dan orang tua adat. Pengetahuan yang terdapat dalam suku aceh, yaitu tentang tradisi bahasa tulisan yang ditulis dalam huruf Arab-Melayu yang disebut bahasa Jawi atau Jawoe, Bahasa Jawi ditulis dengan huruf Arab ejaan Melayu (gambar terlampir). Pada masa Kerajaan Aceh banyak kitab ilmu pengetahuan agama, pendidikan, dan kesusasteraan ditulis dalam bahasa Jawi. Pada makam-makam raja Aceh terdapat juga huruf Jawi. Huruf ini dikenal setelah datangnya Islam di Aceh. Banyak orang-orang tua Aceh yang masih bisa membaca huruf Jawi.
Makanan Khas
Aceh
Aceh adalah wilayah yang mempunyai beragam kekayaan alam,
kekayaan ilmu pengetahuan, kekayaan budaya dan kekayaan agama yang sangat
tinggi. Hal inilah yang membuat Aceh menjadi daerah yang spesial dari zaman
kerajaan, penjajahan hingga zaman modern sekarang ini. Kota yang mendapat
julukan "Serambi Mekkah" ini selain terkenal dengan wisata budaya
juga tidak ketinggalan dengan wisata kulinernya. Beraneka ragam sajian kuliner
yang membuat lidah kita bergoyang. Maka tidak heran kalau kita berkunjung ke
Aceh akan didapatkan panganan khas Aceh. Apa saja makanan tradisional khas Aceh
tersebut, yuk kita simak.
1. Mie
Aceh
2. Sate
Matang
3. Kuah
Pliek U
4. Kue Adee
5. Kue Timphan
6. Kopi Aceh
SUMBER :
http://jagat-resep.blogspot.com/2013/08/13-makanan-tradisional-khas-dari-aceh.html
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda